Kalau
sastra jendra hayuningrat dikhususkan lewat daya upaya pendakian tataran batin, maka sangkan paraning dumadi melalui penyelidikan asal muasal segala kejadian.
Telah kita ketahui bersama bahwa asal muasal dari segala kejadian adalah nol ( 0 ) dan tak hingga ( ~ ).
Otomatis perjalanan batin kita kali ini menuju ke nol dan tak hingga.
Kita ambil start dari batin kita yang berisi seorang kesatria pandawa bernama Bimasena.
Jalan pertama adalah menuju asal muasal kejadian yang bersumber dari (~) atau alam KETUHANAN.
Jalan ini akan ditempuh oleh semua manusia seusai hidup didunia dan dimulai dari alam kubur.
Memang benar setelah menempuh perjalanan di alam dunia / jasmani, rohani akan mengalami titik balik dari arah perbuatan yang pernah dilakukan.
Yaitu menikmati hasil hasil perbuatan dimasa lalu atau rohani menerima akibat dari segala perbuatan tak terkecuali.
Sekecil apapun perbuatan yang pernah dilakukan ke arah luar tubuh, perbuatan itu akan berbalik arah menuju dalam tubuh.
Bagaimana menempuh perjalanan menuju Tuhan (~) dengan arah terbalik ?
Yang semula meninju orang lain, sekarang ditinju orang lain.
Yang semula memberi orang lain, sekarang diberi orang lain.
Begitulah perumpamaanya.
Bimasena tak mau menunggu hancur badan dikandung tanah, tapi mencari guru yang dapat membimbing menuju sangkan paraning dumadi saat raga masih hidup didunia.
Sesuai petunjuk sang guru jasmani, raga Bimasena masuk samudra mencari tirta kehidupan.
Namun sebenarnya yang terjadi adalah Bimasena berpindah alam dari alam sadar menuju alam luar sadar.
Atau dari alam jasmani ke alam rohani.
Di alam rohani ini, perjalanan dari satu tempat ke tempat lain berkecepatan cahaya ke atas atau seluruh kegiatan rohani berkecepatan lebih dari sama dengan kecepatan cahaya ( v = c atau v > c ).
Antara sadar dan tidak sadar Bimasena bertemu Dewa Ruci, dewa mirip Bima tapi kecil.
Yang sejatinya Dewa Ruci adalah roh suci bima sendiri.
Perjalanan rohani berlanjut dengan masuknya Bima ke gua garba Dewa Ruci.
Di alam ruh, Bima berjumpa dengan cahaya tujuh warna.
Pertama Bima bertemu cahaya merah.
Inilah nafsu terendah yang harus mampu dilewati agar dapat meneruskan perjalanan.
Cahaya merah sebagai lambang nafsu amarah, sombong, takabur, angkara murka dan sejenisnya.
Tanpa dapat melewati cahaya pertama, tak mungkin mampu melewati etape berikutnya.
Etape kedua Bima bertemu cahaya jingga.
Cahaya jingga melambangkan nafsu Al luwamah.
Nafsu yang berubah ubah dari iri, dengki, ambisi, ingin lebih, ingin kurang dan sebagainya.
Etape ketiga Bima bertemu cahaya kuning.
Cahaya kuning melambangkan nafsu muthma'inah.
Nafsu muthma'inah adalah nafsu yang sudah mulai tenang.
Inilah standar nafsu yang harus dicapai agar roh hidup dalam tenang dan damai.
Perjalanan masih jauh untuk mencapai finish di alam (~) tak hingga.
Masih ada empat etape lagi.
Etape selanjutnya cahaya hijau.
Cahaya yang melambangkan nafsu rodhiyah.
Nafsu yang damai tenang sekaligus mendamaikan dan menenangkan.
Etape selanjutnya hamparan cahaya biru.
Melambangkan nafsu mardhiyah.
Nafsu mulia yang mendamaikan, menenangkan dan memiliki kemampuan membimbing nafsu lain menuju nafsu setingkat dibawahnya.
Etape selanjutnya hamparan cahaya nila.
Melambangkan nafsu sufiyah.
Nafsu yang mulia yang dapat menghantar nafsu lain menuju nafsu mardhiyah.
Etape terakhir yaitu hamparan cahaya ungu.
Melambangkan nafsu kamilah.
Yaitu nafsu yang telah sempurna.
Nafsu inilah yang sampai fisnish di alam KETUHANAN.
Di antara berjuta nafsu kamilah, ada sesosok nafsu kamilah yang diberi tugas untuk menyempurnakan nafsu nafsu lain agar sanggup menempuh perjalanan hingga finish di alam (~) tak hingga atau alam KETUHANAN.
Nafsu inilah yang membimbing roh Bima mengarungi perjalanan menuju sangkan paraning dumadi menuju hadirat Tuhan.
Tanpa bimbingan sesosok nafsu kamilah yang diberi tugas, tak ada nafsu yang sanggup menjalani sangkan paraning dumadi di jalan ini.
Lalu bagaimana jalan sangkan paraning dumadi menuju nol ?
Bima tersadar kembali ke alam dunianya.
Dimana ia seorang kesatria yang wajib menjalani tugas seorang kesatria.
Darma seorang satria yang harus mau dan tunduk pada roh sucinnya.
Dengan tuduknya jasmani Bima kepada roh sucinya yang telah sampai pada finish yang benar,
ia telah berjalan diatas keseimbangan (keharmonisan) hubungan seluruh alam.
Artinya setiap tindak tanduknya selalu berdasar atau mengalami keseimbangan diri pribadi.
Bumi berputar menjalani keseimbangan.
Matahari berputar menjalani keseimbangan.
Udara bergerak menjalani keseimbangan.
Semua makhluk bergerak menjalani keseimbangan.
Dalam keseimbangan hakiki inilah semua makhluk bernilai nol tanpa terkecuali.
Dengan demikian tuntas sudah perjalanan mencari sangkan paraning dumadi lahir (0) dan batin (~)...