Selasa, 09 Juni 2020

BANYUWANGI DITINJAU DARI METAFISIKA PEWAYANGAN

Dalu dalu suarane gemericike banyu.
Nggugah ati kang turu.
Suarane gending belambangan, lamat lamat ono ring kadohan...
Samar samar antara tidur dan tidak tidur.
Sang sukma mengembara ke masa lalu.
Masa dimana tanah jawa masih sepi penduduk.
Hutan belantara, hewan hewan buas masih berkeliaran.
Masa wuku julungwangi.
Hari kliwon.
Bulan sotya sinarawedi.
Sampailah sang sukma di bumi blambangan.
Sebelum diberi nama banyuwangi oleh raden Banterang, tempat tersebut adalah keraton dari kerajaan besar Medang Kamulan.
Raja paling viral bernama prabu Jawata Jengkar atau Dewata Cengkar.
Yang artinya dewa pindah.
Entah karena kesaktian Jawata Jengkar yang setingkat dewa atau karena budi pekerti yang kurang baik sehingga 
ditinggalkan para dewa.
Keraton tepat berdiri sekarang menjadi masjid agung Baiturrahman.
Sebelah belakang keraton adalah komplek Singonegaran atau tempat tinggal para senapati praja.
Sebelah kanan singo negaran atau sudut kanan dari keraton adalah istana kepatihan beserta kerabatnya.
Sebelah kanan agak ke depan adalah komplek keputren para istri dan putri putri raja.
Sebelah depan adalah taman sari dan alun alun keraton.
Nama Dewata Cengkar / Jawata Jengkar sebenarnya julukan dari rakyatnya yang kala itu sedang dilanda ketakutan
akibat tingkah laku yang kejam dari rajanya.
Nama kecilnya raden Lokananta.
Setelah menjadi raja berjuluk prabu Gagarmayang.
Angin bertiup semakin dingin.
Malam semakin larut.
Harum bunga semerbak ditaman sari keraton Medang Kamulan.
Prabu Gagarmayang sedang bercengkerama dengan istrinya.
Ayahanda dan ibundanya telah lengser keprabon menjalani hidup sebagai seorang begawan dipertapaan Arga dahana,
sekarang gunung raung, bergelar begawan Sidik Permana.
Adiknya raden Mahisa Swara atau Maheswara telah menjadi adipati di Blambangan.
Kelak menurunkan Jaka Umbaran ( Minakjingga ).
Adik bungsunya Jaka Truna tak mau jadi adipati, menjalani hidup sebagai seorang kelana menuntut ilmu diberbagai negeri.
Bertahun waktu berlalu.
Jaka Truna menjelma menjadi seorang sakti mandraguna digdaya mahambara pilih tanding.
Ia mengembara menyebrang samudra di Nusa Panida ( sekarang P Bali ).
Karena kesaktian dan kebaikannya terhadap sesama ia dijuluki Ajisaka.
Dalam pengembaraan selalu ditemani empat orang punakawan ( abdi ) yaitu Dora, Sembada, Duga, Prayoga.
Puas mengembara ia menempati nusa Majethi ( sekarang P Campe ) bersama empat abdinya.
Kabar tentang adanya orang sakti mandraguna dari Nusa Panida juga sampai ke telinga prabu Gagarmayang.
Sang prabu juga menggembleng kesaktian dan berguru pada orang orang sakti.
Tapi karena terlalu ambisi, sang prabu gagal menerapkan sastra jendra ayuningrat.
Tubuhnya yang semula tampan berubah menjadi raksasa.
Semenjak kejadian ini tabiatnya semakin buruk.
Pada puncaknya demi mencapai kesaktian lebih ia tega mengorbankan nyawa manusia.
Seiring perubahan fisik, nama juga berubah.
Semula Gagarmayang, kini dipanggil Dewata Cengkar.
Berita tentang prabu Gagarmayang dijuluki Dewata Cengkar juga sampai ke telinga Ajisaka.
Ingin ia pulang untuk mengobati dan menasehati sang kakak agar tidak melakukan perbuatan tercela.
Suatu hari ia berpesan kepada Dora agar menjaga nusa Majethi selama ia pulang ke Medang Kamulan.
Ajisaka meninggalkan sebilah keris kyai Dewandaru untuk menemani Dora dan tak boleh diberikan pada siapapun
selain Ajisaka sendiri.
Sesampai di Medang Kamulan orang orang telah lupa bahwa ia adalah Jaka Truna, adik sang raja.
Ia lebih dikenal dengan Ajisaka.
Ia tak mau langsung masuk istana melainkan berkeliling memastikan berita yang didengarnya
dan mengunjungi dulu ayahandanya di Argadahana. 
Dalam perjalanan ia mendengar tangisan seorang wanita tua ( mbok ) di desa Dadapan.
Setelah singgah iapun tahu bahwa anak wanita itu diminta sang raja akan dijadikan tumbal kerajaan.
Santer kabarnya bahwa para tumbal dijadikan santapan raja.
Ajisaka berjanji akan menolongnya.
Setiba di Argadahana, ayahandanya pun tahu semua kabar tentang kerajaan dan seluruh kejadiannya.
Ajisaka ditugasi untuk menasehati kakaknya, namun tidak boleh ada saling bunuh diantara saudara.
Ayahnya membekali sebuah ikat kepala yang sakti.
Bahkan kakaknya Maheswara di Blambangan rela kerajaan Medang Kamulan dipimpin Ajisaka jika ia mampu mengalahkan 
kakak Dewata Cengkar.
Waktu persembahan tumbal tiba, anak mbok Dapapan digantikan oleh Ajisaka.
Dewata Cengkar terpana melihat calon korbannya.
Karena kagum akan keelokan wajahnya, ia menawarkan pada Ajisaka untuk mengajukan permintaan terakhir sebelum 
dikorbankan.
Ajisaka hanya meminta sebidang tanah buat ibunya ( mbok Dadapan ) yang luasnya seluas ikat kepalanya.
Raja tertawa mendengarnya.
Segera disuruhnya Ajisaka membeberkan ikat kepala.
Keanehan terjadi ikat kepala yang dibeber, terus membesar hingga menutupi seluruh kerajaan Medang Kamulan.
Melihat ini Dewata Cengkar murka.
Dihunuslah keris saktinya yang bernama kyai mustika segara hendak dihujamkan ke dada Ajisaka.
Ajisaka waspada dikebaskanlah ikat kepalanya yang sebesar kerajaan.
Tubuh Dewata Cengkar terlempar ke angkasa dan jatuh di purwa samudra ( kini semenanjung blambangan ) dan berubah
menjadi buaya putih dengan nama Bajul Sengara.
Bajul Sengara masih hidup hingga kini menghuni semenanjung Blambangan yang dulu bernama purwa samudra.
Hati hati jika melalui tempat itu, banyak rawa rawa.
Ajisaka kemudian menggantikan kakaknya jadi raja Medang Kamulan dengan gelar prabu Widyajaka.
Para istri kakaknya dinikahi jadi istrinya.
Setelah menjadi raja teringatlah ia pada abdi Dora di nusa Majethi ( ia bermaksud mengangkat empat abdinya jadi tumenggung ).
Diutusnyalah abdi Sembada untuk menjemput Dora.
Inilah kejadian yang membuat legenda aksara jawa.
Berawal dari Dora yang bersikukuh pada pesan Ajisaka bahwa tiada seorangpun yang boleh membawanya beserta keris pusaka 
selain Ajisaka sendiri.
Dora mengira Sembada akal akalan ingin mengambil keris pusaka.
Sehabis perdebatan kata.
Terjadi perang tanding antara Dora dan Sembada yang sama sama digjaya.
Karena sama saktinya keduanya berakhir seri sama sama perlaya.
Ajisaka yang teringat pernah berpesan pada Dora, segera menyusulnya.
Tapi terlambat, nasi sudah menjadi bubur.
Kedua abdi setianya telah tewas.
Untuk menghargai kesetiaan abdinya ia membuat prasasti bertuliskan
kejadian penyebab kematian Dora dan Sembada.
Tulisan pada tugu berisi :
HANA CARAKA ( ada utusan ).
DATA SAWALA ( perdebatan kata ).
PADHA JAYANYA ( sama saktinya ).
MAGA BATHANGA ( menjadi jasad ).
Tugu itu rapi dan indah menjadi nisan Dora dan Sembada di tasik Nusa Majethi ( pantai P Campe ).
Inilah cikal bakal huruf jawa, sunda dan bali.
Menjadi terkenal karena disitu menjadi jalur pelayaran dari berbagai negara bahkan benua.
Kerajaan Medang Kamulan juga makin terkenal ke penjuru dunia.
Duga dan Prayoga diangkat menjadi tumenggung.
Meski terkenal, kerajaan Medang Kamulan luasnya tak berkembang karena dikelilingi lautan dan dibatasi kahyangan dewa.
Sebelah selatan ada lautan.
Sebelah barat ada kahyangan Suralaya milik betara Guru di puncak Semeru.
Barat laut ada kahyangan Daksina Agni milik betara Brama di puncak Bromo.
Sebelah utara juga lautan dan negara Madura milik leluhur Basudewa.
Sebelah timur juga lautan dan kahyangan Sidik Pangudal Udal milik betara Narada di puncak Agung.
Karena abrasi dan naiknya permukaan air laut tugu itu kini telah tenggelam dan hanyut didasar laut.
Keraton megah dan indah kini juga telah berubah tertelan peradaban.
Tinggal nama nama yang masin dikenang.
Seiring dengan datangnya bulan tirta sah saking sasana.
Kita beralih cerita dilain masa...

Untuk diingat :
Bagi yang beribadah dimasjud Agung Baiturrahman, jangan berbuat tidak sopan, misalnya tidur, duduk, bicara sembarangan.
Agar terhindar dari hal hal yang tak diinginkan.



Ajisaka bersama Duga dan Prayoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar